Senin, 29 Agustus 2011

PD III FKIP UNSRI tampar mahasiswa didepan umum

INDRALAYA - Diduga salah paham, seorang oknum Pembantu Dekan (PD) III Universitas Sriwijaya (Unsri) yang diketahui bernama Trimurti Saleh menampar mahasiswanya bernama Nurul Tri Isna Wijaya mahasiswa FKIP jurusan Eknomi.

Tragisnya, aksi tersebut dilakukan dihadapan ratusan mahasiswa baru serta panitiasaat melakukan pembekalan persiapan program pengenalan kampus (P2K), yang akan berlangsung 23-25 Agustus mendatang. Lantaran malu dan sakit hati, korban akhirnya melaporkan peristiwa tersebut ke Mapolres OI.
Korban Nurul saat ditemui di Mapolres OI, Kamis (18/8/2011), mengatakan, peristiwa tersebut terjadi sekitar pukul 08.20 Wib. PD III datang menghampiri kegiatan Technical Meeting (TM) P2K FKIP Unsri yang dimotori BEM FKIP Unsri.
“Saya tidak tahu, PD III datang marah dan mengatakan TM mahasiswa baru illegal. Selanjutnya, beberapa mahaiswa menjelaskan tujuan acara TM yakni menyampaikan aturan, penugasan mahasiswa baru dan untuk pembagian kelompok P2K," ujarnya.
Kemungkinan merasa tidak dihargai, lanjutnya, PD III langsung menyuruh panitia yang menggunakan jaket almamater melepaskan jaketnya. Saat hendak dijelaskan, PD III langsung menampar dihadapan umum. “Saya ditampar menggunakan tangan kiri ke pipi kanan. Selain itu, dia (PD III) menyentuh dan mendorong dagu saya kuat-kuat,” tuturnya.
Akibat kejadian itu, sambung Nurul, dirinya  merasa telah dipermalukan, apalagi dilakukan didepan umum, dan tentunya sangat bertentangan dengan peran seorang pendidik yang seharusnya menjadi teladan. "Bukaannya mendidik malah mempraktekan kekerasan didepan anak didiknya. Saya ingin PD III diberi pelajaran dan meminta maaf baik kepada dirinya pribadi maupun elemen gerakan mahasiswa di FKIP,” pintanya.
Sementara itu, PD III FKIP Unsri Trimurti Saleh saat dihubungi via selulernya mengaku hanya melakukan pembinaan dan bukan bermaksud melakukan tindak kekerasan. “Saya hanya ingin mengingatkan panitia, kegiatan mengumpulkan mahasiswa baru tersebut illegal sebelum P2K dibuka secara resmi oleh rektor dan sudah ada edarannya,” ujarnya.
Untuk itu, lanjutnya, dirinya meminta agar kegiatan tersebut dihentikan karena dikuatirkan dalam pelaksanaanya ada kekerasan. "Saya cuma meminta untuk distop, karena kegiatan tersebut ilegal dan khawatir ada kekerasan," tuturnya.
Saat disinggung soal menampar, Trimurti tidak menjawab hanya berkata tanyakan kepada mahasiswanya sendiri."Tanyakan aja sama mahasiswanya," ujarnya singkat.
Terpisah, PD II FKIP Unsri Made Sukaryawan, menilai kejadian tersebut hanya kesalahpahaman, dan pihaknya akan melakukan upaya penyelesaaian secara damai. "Saya kira ini cuma salah paham saja, akan kita cari jalan damai," tuturnya.
Kapolres Ogan Ilir AKBP Deni Dharmapala melalui Kasatreskrim AKP Yuskar Efendi membenarkan adanya laporan dari mahasiswa tersebut dan telah ditindaklanjuti.""Benar bahwa ada mahasiswa melapor ke Polres, akan kita tindaklanjuti," pungkasnya.  (BJ).

Selasa, 09 Agustus 2011

RUU PT Banyak Menuai Kritik Dasar

Yogyakarta, CyberNews. Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) yang sekarang sedang dimatangkan di DPR menuai banyak kritik mendasar, di antaranya terkait dengan urgensi dan substansinya.
Kelahiran RUU itu dinilai juga hanya disemangati oleh sikap reaktif (bukan proaktif untuk memperbaiki sistem pendidikan tinggi di Indonesia) atas dibatalkannya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh MK. Bahkan, RUU itu dinilai cacat filosofis-ideologis, yuridis, dan sosiologis mendasar.
"Secara filosofis-ideologis RUU PT ini terlihat belum mampu mengaktualisasikan ruh filosofi dan ideologi pendidikan Pancasila. Ruh ini seharusnya menjadi acuan nilai, tujuan, dan orientasi pendidikan tinggi yang diharapkan," papar anggota Tim Ahli Pusat Studi Pancasila (PSP) Prof Dr Sudjito SH MSi kepada wartawan di PSP UGM.
Prof Sudjito menuturkan, secara yuridis substansi RUU PT masih menyisakan masalah besar terkait dengan batas-batas substansi yang seharusnya diatur dalam RUU. Para penyusun RUU PT juga terkesan kurang memperhatikan substansi yang seharusnya diatur dengan UU, Peraturan Pemerintah atau cukup dengan Statuta.
Seharusnya suatu UU cukup mengatur hal-hal mendasar yang merupakan penjabaran hak-hak konstitusional warga negara. "Seharusnya ketentuan yang mengatur keunikan dan kekhasan perguruan tinggi sebenarnya cukup diatur dengan statuta, tidak perlu diatur dengan UU. Tumpang tindih hal-hal yang dimuat dalam RUU ini merupakan kelemahan mendasar yang perlu segera diperbaiki," katanya.
Tambah Masalah
Adapun secara sosiologis, dia melihat RUU PT itu menyimpan potensi besar untuk ditolak oleh masyarakat Indonesia. Hal itu terindikasi dari menguatnya kepentingan kelompok tertentu dan belum berakomodasinya kepentingan kelompok mayoritas masyarakat Indonesia. Jika ini diteruskan, katanya, diperkirakan akan semakin menambah daftar masalah hukum dan pendidikan di Indonesia.
Di tempat sama, Ketua Tim Ahli PSP UGM, Prof Dr Sutaryo SpA(K) menambahkan, dengan melihat ruh dari RUU PT itu sebenarnya sama dengan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) maka diharapkan ada kajian ulang terhadap substansi RUU tersebut. Jangan sampai RUU PT hanya sebagai ''ganti baju'' dari UU BHP.
Dalam pandangannya, keberadaan RUU PT saat ini banyak ditolak oleh PTS maupun PTN di Indonesia mengingat roh dan substansinya yang belum mampu mengaktualisasikan filosofi dan ideologi pendidikan Pancasila. Dengan demikian, tidak menjadikan masalah jika kemudian RUU PT itu apabila terpaksa disahkan kemudian dilakukan 'judicial review'.
"Tidak masalah ditolak meskipun pembahasannya telah menghabiskan banyak anggaran. Sebab ada yang lebih penting lagi dibandingkan besarnya anggaran yang telah dikeluarkan, yaitu masa depan pendidikan Indonesia,'' tambahnya.

( Bambang Unjianto / CN26 / JBSM )

Senin, 08 Agustus 2011

Realitas Politik Pendidikan

Untuk melihat realitas politik pendidikan di indonesia, kita bisa mengukurnya dari kebijakan dan praktik pendidikan yang ada.
Pemerintah telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005 – 2009 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan; dan meningkatnya tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik.
Karena itu, kebijakan pendidikan nasional harus mampu menghadirkan pemerataan pendidikan yang bermutu pada setiap sisinya. Dalam konteks outcome, pendidikan nasional harus mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan intelektual dan akhlak mulia secara seimbang.
Pembangunan pendidikan hendaknya dapat membangun manusia Indonesia seutuhnya sebagai subyek yang bermutu. Membangun manusia seutuhnya berarti mengembangkan seluruh potensi manusia melalui keseimbangan olah hati, olah pikir, olah rasa, olah raga, dan olah jiwa yang dilakukan seiring dengan pembangunan peradaban bangsa.
Pemerintah Indonesia memang telah terus-menerus memberikan perhatian yang besar pada pembangunan pendidikan dalam rangka mencapai tujuan negara, yaitu mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang pada akhirnya akan sangat mempengaruhi kesejahteraan umum dan pelaksanaan ketertiban dunia serta berkompetisi dalam percaturan global.
Namun dalam realitasnya, kita menyaksikan ternyata kebijakan dan praktik pendidikan kita masih jauh panggang dari api. Hal ini bisa kita lihat mulai dari kemampuan mengalokasikan anggaran pendidikan, pemerataan akses dan angka partisipasi pendidikan masyarakat, kualifikasi dan mutu profesionalisme serta kesejahteraan guru, dan daya saing lulusan pendidikan di dnia kerja,
Soal anggaran pendidikan, misalnya. Kita semua tentu paham bahwa sampai sekarang ini besarnya anggaran pendidikan di negara kita tidak saja terjelek di Asia Tenggara, di Asia atau di kawasan terbatas lainnya; namun anggaran pendidikan kita ternyata termasuk terjelek di dunia.
Kalau kita mengacu publikasi badan dunia UNDP, misalnya; anggaran pendidikan kita lebih jelek tidak saja dari negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, nggris, Jerman dan Jepang; tetapi juga dari negara berkembang lainnya, seperti Malaysia, Thailand, Brasilia, Meksiko, dan Nigeria; bahkan ternyata juga lebih jelek dari negara-negara terbelakang seperti Bangladesh, Burundi, Ethiopia, Nepal, Congo, dan sebagainya.
Angka rata-rata anggaran pendidikan di negara maju mencapai 5,1 persen terhadap GNP, di negara berkembang 3,8 persen dan negara terbelakang 3,5 persen. Sementara itu, negara kita hanya mengalokasi dana kurang dua persen terhadap GNP.
Kita semua menyadari, bahwa untuk memajukan dunia pendidikan nasional dan meningkatkan kualitas SDM bangsa sesuai dengan yang dicita-citakan, maka pemenuhan alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD adalah menjadi keniscayaan. Komitmen serius untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan adalah persoalan mendesak, jika kita betul-betul serius ingin mencerdaskan kehidupan bangsa ini melalui pendidikan yang bermutu. Karena, UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) telah mengamanahkan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Bahkan, UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 49 ayat (1) menegaskan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Selama ini Pemerintah bersama-sama dengan DPR-RI telah sepakat untuk menempatkan alokasi anggaran pendidikan menjadi prioritas tertinggi dalam penetapan APBN setiap tahun. Hal ini dapat dilihat pada kenaikan anggaran di Departemen Pendidikan dan Agama yang melonjak sangat tinggi pada tiga tahun terakhir. Upaya untuk memenuhi anggaran pendidikan hingga mencapai 20 persen dari dana APBN, diluar gaji dan pendidikan kedinasan, telah diupayakan untuk direalisasikan secara bertahap sampai tahun 2009. Rentang kenaikannya adalah dari yang semula hanya 6,6 % pada tahun 2004, menjadi 9,3 % untuk tahun 2005, kemudian menjadi 12 % untuk tahun 2006, lalu menjadi 14,7 % untuk tahun 2007, selanjutnya menjadi 17,4 % untuk tahun 2008, dan pada tahun 2009 menjadi 21,1 %. Anggaran fungsi pendidikan pada tahun 2006 memang telah mencapai Rp45,3 triliun, meningkat menjadi Rp52,4 triliun pada tahun 2007, dan direncanakan meningkat menjadi Rp61,4 triliun pada tahun 2008.
Anggaran pendidikan di APBN sebenarnya terus naik cukup signifikan sejak 2003. Fenomena penurunan persentase anggaran hanya sempat terjadi pada 2002. Ketika itu, anggaran pendidikan hanya mendapatkan porsi 3,76 persen. Padahal, pada 2001 sudah mencapai 4,55 persen. 
Setelah itu, anggaran pendidikan terus bertambah menjadi 4,15 persen pada 2003; 6,6 persen (2004); 7 persen (2005); 9,1 persen (2006); dan 11,8 persen (2007). Dalam APBN 2007, pendidikan telah berhasil mendapatkan porsi terbesar. Begitu juga dalam RAPBN 2008. 
Dalam masalah partisipasi pendidikan juga begitu halnya. Anak usia SD, SMP, SMA dan SMK di Jepang, Republik Korea, Taiwan, Singapura, hampir seluruhnya sudah masuk sekolah. Mereka tidak saja sekadar disuruh bersekolah tetapi juga diberi kesempatan dan fasilitas belajar secara memadai.
Bagaimana di Indonesia? Sampai saat ini masih banyak anak usia SD, SMP, SMA dan SMK yang tidak bersekolah. Secara definitif angkanya sangat tinggi, mencapai jutaan anak. Angka partisipasi pendidikan untuk tingkat SD, SMP, SMA dan SMK ternyata masih rendah. Ditambah lagi dengan tingginya angka putus sekolah dan buta aksara.
Terkait dengan rendahnya partisipasi pendidikan, data Depdiknas 2006 menunjukan bahwa Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI/SDLB/Paket A baru mencapai 94,73%, Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs/SMPLB/Paket B sebesar 88, 68%, Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA/MA/SMK/SMALB/ Paket C sebesar 55, 22%, dan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi baru mencapai 16,70%.
Adapun mengenai tingginya angka putus sekolah, tercatat bahwa angka putus sekolah tingkat SD sebanyak 2,97%, SMP 2,42%, SMA 3,06%, dan PT 5,9%. Sementara, tingginya jumlah warga negara yang masih buta huruf, tercatat bahwa dari total penduduk sebanyak 211.063.000, yang masih buta huruf pada usia 15 tahun ke atas, berjumlah 15.4 juta, dengan perbandingan laki-laki sebesar 5,8% dan perempuan sebesar 12,3%, dengan penyebaran di perkotaan sebesar 4,9% dan dipedesaan 12,2%.
Bahkan, berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional, hingga akhir tahun 2006, masih 12,88 juta penduduk Indonesia, tersebar di pedesaan dan perkotaan, yang buta aksara. Kondisi ini memang sedikit lebih baik dibandingkan kondisi di tahun 2005 yang sebanyak 14.595.088 orang. Walaupun demikian, masih belum mampu mengeluarkan Indonesia dari kelompok negara-negara (ada 34 negara) di dunia yang jumlah penduduk buta aksaranya di atas 10 juta orang.
Tingginya angka buta aksara inilah yang memberi andil menempatkan peringkat IPM Indonesia di posisi bawah. Dua per tiga dari total penilaian atas kriteria pendidikan didasarkan pada jumlah penduduk di atas 15 tahun yang buta aksara. Artinya, jika angka buta aksaranya masih tinggi maka nilai atas pendidikan jadi rendah.
Kesulitan dalam upaya pemberantasan buta aksara di Indonesia disebabkan oleh kenyataan bila masih sangat banyak anak yang putus sekolah bahkan tidak sekolah. Disamping itu, minimnya anggaran juga disinyalir menjadi penyebab terhambatnya memberantas buta aksara. Pada tahun 2006 lalu pemerintah hanya menanggarkan dana Rp. 175 miliar, padahal dibutuhkan sedikitnya Rp. 450 miliar untuk menekan angka buta aksara. Kondisi ini menunjukkan komitmen pemerintah pusat terhadap pendidikan yang masih sangat rendah seiring dengan kecilnya alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2007, yakni hanya 11,8 persen.
Memang pemerintah kita selalu menganjurkan agar mereka mau masuk sekolah. Sayangnya, anjuran itu kurang disertai dengan penyediaan fasilitas yang memadai, baik dari sisi jumlah maupun mutu.
Soal peran dan posisi guru juga demikian halnya. Pemerintah di negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Brunei, Taiwan, Jepang, Vietnam, Singapura, dan sebagainya, sangat menghargai peran guru dan memposisikannya sebagai pribadi yang sangat dihormati dan disegani. Sebab, mereka tidak segan-segan menggaji guru dengan nilai yang tinggi.
Guru di Vietnam digaji 600.000 dhong (Dolar Vietnam) pada setiap bulannya, sementara kebutuhan hidup setiap bulan untuk keluarga kecil hanya sekitar 200.000 dhong.
Guru di Jepang digaji sekitar 200.000 yen setiap bulannya, sementara kebutuhan hidup di setiap bulannya rata-rata hanya sekitar 100.000 s/d 150.000 yen untuk keluarga kecil. Pendeknya, dengan mengandalkan gajinya saja para guru di negara-negara tersebut bisa hidup layak dan menabung.
Bagaimana dengan guru di Indonesia? Apakah para guru kita dapat hidup dengan layak dan menabung dengan mengandalkan gajinya? Apakah peran dan posisi para guru terandalkan di masyarakat luas? Tentunya kita semua sangat paham dengan kondisi yang senyatanya.
Ironisnya, Indonesia termasuk salah satu negara yang jumlah guru berpendidikan primer setara S1 yang kurang dari 50 persen. Ini berarti dari jumlah 2,7 juta guru, sebanyak 1,35 juta orang guru belum mencapai kualifikasi S1. Laporan Diknas tahun 2006 menjelaskan bahwa guru yang memenuhi kualifikasi S1/D-IV, baru mencapai target 35,6% saja. Jadi, sebanyak 64,4% guru belum memenuhi kualifikasi S1/D-IV. Sedangkan, dosen yang memenuhi kualifikasi S2/S3 baru mencapai 54,02%. Jadi, masih ada sebanyak 45,08 % dosen yang belum memenuhi kualifikasi S2/S3. Pada tahun 2007, depdiknas baru berhasil meningkatkan kualifikasi guru hingga S1/D4 sebanyak 81.800 guru dan melakukan sertifikasi guru sebanyak 147.217 orang.
Padahal, dalam konteks pembangunan sektor pendidikan, guru merupakan pemegang peran yang amat sentral. Guru adalah jantungnya pendidikan. Tanpa denyut dan peran aktif guru, kebijakan pembaruan pendidikan secanggih apa pun tetap akan sia-sia. Sebagus apa pun dan semodern apa pun sebuah kurikulum dan perencanaan strategis pendidikan dirancang, jika tanpa guru yang berkualitas, maka tidak ada gunanya. Artinya, pendidikan yang baik dan unggul tetap akan tergantung pada kondisi mutu guru.
Hal ini ditegaskan UNESCO dalam laporan The International Commission on Education for Twenty-first Century, yakni "memperbaiki mutu pendidikan pertama-tama tergantung perbaikan perekrutan, pelatihan, status sosial, dan kondisi kerja para guru; mereka membutuhkan pengetahuan dan keterampilan, karakter personal, prospek profesional, dan motivasi yang tepat jika ingin memenuhi ekspektasi stakeholder pendidikan" (Jacques Delors 1996). Karena itu, upaya meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan para guru adalah suatu keniscayaan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 24/PUU-V/2007 yang memutuskan bahwa gaji guru masuk dalam anggaran pendidikan 20 persen, tidak boleh menjadi hambatan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah seberapa serius pemerintah menghormati dan menjunjung tinggi profesi guru yang telah banyak berperan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta mencerdaskan kehidupan bangsa? Apa yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kinerja dan mutu profesi guru sebagai pendidik? Lalu bagaimana dengan kesejahteraan dan nasib masa depan guru ditengah tuntutan dan himpitan ekonomi saat ini?
Terlepas dari masih banyaknya persoalan kebangsaan yang menjerat kita, dalam konteks pembangunan sektor pendidikan, komitmen serius untuk terus meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru merupakan suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, jika kita mau betul-betul serius ingin membangun bangsa ini menjadi lebih beradab. Sebab, guru yang bermutu dan sejahtera memegang peran amat sentral dalam proses pendidikan.
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran pada program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan tahun 2008 untuk kegiatan sertifikasi pendidik bagi sekitar 200.000 orang guru, peningkatan kualifikasi akadeik guru ke S1/D4 sebanyak 270.000 guru, peningkatan kompetensi guru Dikdas sebanyak 3.049 guru, dan peningkatan kompetensi guru Dikmen sebanyak 12.828 guru.
Adanya komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan guru bisa dijadikan sebagai momentum pembangkit kembali idealisme guru dalam membangun peradaban bangsa Indonesia. Sehingga, masa depan Indonesia bisa lebih maju, berkualitas, berbudaya, cerdas, dan dapat bersaing dalam percaturan dunia. Namun, persoalannya adalah bagaimana agenda tersebut dapat diimplementasikan dan diwujudkan secara nyata, konkret, dan didasarkan atas kemauan politik dan keseriusan tekad pemerintah.
Kita masih tetap mengharapkan peran strategis pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan, harkat, martabat, dan wibawa guru. Pemerintah harus komitmen dalam melaksanakan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sehingga pembangunan peradaban bangsa melalui sektor pendidikan dapat berjalan sesuai dengan harapan dan cita-cita kemerdekaan bangsa ini. Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang mau memuliakan dan mensejahterakan guru.
Keadaan tersebut memberi gambaran mengenai politik pendidikan di Indonesia yang masih jauh dari kata-kata surga dan menjanjikan. Politik pendidikan kita belum mampu memberikan harapan konkret atas kemajuan bangsa ini di masa depan.
Pendidikan di negara kita masih berada (diletakkan) di ring marginal sehingga politik pendidikan kita sangat rentan terhadap ekspansi gemerlapnya politik lain yang lebih dominan; katakanlah dengan politik ekonomi, politik kebudayaan, politik keamanan, dan yang lebih khusus politik kekuasaan.

MENAG: IRONIS ANGGARAN PENDIDIKAN MENINGKAT TAJAM, MASIH ADA YANG TAK BISA SEKOLAH

”Bu anaknya mau pinter nggak, mau pinter lebih pinter dari ibunya nggak, mau lebih pinter dari bapaknya nggak, sekolahkan anaknya, sekolahkan anaknya”, kata Menteri Agama Suryadharma Ali. Photo by KNC doc.
Jakarta, 3/8/2011 (Kominfonewscenter) – Menteri Agama Suryadharma Ali menyerahkan secara simbolis beasiswa bagi siswa tak mampu di SDN Cadas Ngampar, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon, Rabu (3/8).
”Saya ingin lebih dahulu menceritakan mengapa saya datang kemari”, kata Menteri Suryadharma.
Ia datang ke Argasunya karena tgl.25 Juli 2011 mendengar berita dan melihat langsung Metro TV, saat itu ia berada di Aceh dan sewaktu subuh melihat siaran Metro yang  menyebutkan seorang gadis kecil bernama Fatimah Azahra berhenti sekolah pada kelas V karena orang tuanya tak mampu menyekolahkan Fatimah, dan akhirnya Fatimah menjadi pemecah batu dengan upah Rp6000 per hari.
Kemudian Metro TV mengatakan anggaran pendidikan naik terus tetapi masih ada warganegara yang tidak mampu menyekolahkan anaknya
”Terus terang ini menggerus hati saya, selaku Menteri Agama yang memiliki kewajiban mengelola pendidikan terbesar kedua setelah Kemendiknas”, kata Menteri Suryadharma Ali.
Menurut Suryadharma, apa yang diberitakan Metro TV merupakan sosok ketidakberdayaan masyarakat dalam menyekolahkan anaknya.
”Ironis sangat ironis dan memang betul anggaran pendidikan meningkat tajam, saya juga heran kalo masih ada warganegara yang tidak bisa sekolah”, katanya.
”Saya betul-betul heran apakah ini betul-betul kemiskinan atau memang budaya, saya pernah menemukan beberapa tahun yang lalu ketika tersiar adanya masyarakat yang kekurangan gizi”, tambah Menteri.
Menteri Suryadharma mengatakan kekurangan gizi itu sebagai kata lain dari kelaparan, jadi ada masyarakat Indonesia yang masih kelaparan di beberapa tempat.
”Saya lihat ternyata kelaparan itu bukan disebabkan karena kemiskinan tapi kelaparan itu disebabkan oleh budaya”, kata Menag.
Kebiasaan orang tua, terutama ibu yang demikian cintanya dengan sang suami, makanan diutamakan bagi suaminya.
Bila si ibu membeli ikan misalnya, maka ikan itu diprioritaskan untuk sang ayah sementara si anak hanya makan tahu tempe dengan sambel kira-kira seperti itu.
”Ini budaya, barangkali masih ada ibu-ibu sekarang yang seperti itu, anak dilarang makan telor, karena kalo makan telor nanti bisulan, ditakut-takutinnya begitu, dilarang makan ikan kalo makan ikan nanti cacingan”, kata Menag.
Menteri mengemukakan hal itu merupakan budaya, sehingga anak-anak mendapatkan makanan yang gizinya rendah, proteinnya rendah, karenanya kemudian anak-anak menjadi kurus-kurus seperti kurang gizi, padahal bapaknya gemuk ibunya gemuk, kerbonya ada empat itu juga kelihatan gemuk, semua kerbonya gemuk sapinya gemuk tapi anaknya kurus.
Menteri juga mengemukakan adanya budaya dimana petani yang memiliki sapi banyak, dipotong atau dijual bila ada slametan.
”Ada sunatan sapi dipotong, ada kawinan sapi dipotong, tapi ketika anak mau atau butuh uang untuk sekolah sapi tidak dijual atau ketika anak perlu uang untuk berobat dengan penyakit yang serius, sapi tidak dijual, ini budaya kita ini kebiasaan kita yang harus kita rubah”, kata Menteri.

ANGGARAN PENDIDIKAN MENINGKAT, PUNGLI JUGA NAIK

(JAKARTA) – Percuma saja anggaran pendidikan dalam bentuk ‘mandatory’ 20 persen dari APBN diberikan kepada sektor pendidikan. Ternyata, meningkatnya anggaran (pendidikan) itu, berbanding lurus dengan terus menaiknya juga pungutan liar serta berbagai kutipan saat penerimaan siswa maupun mahasiswa baru di mana-mana.
“Untuk masuk SD hingga SMP, ada sekolah yang mengenakan tarif antara tiga sampai tujuh juta rupiah. Sedangkan SMA bisa lima sampai 10 juta. Lalu untuk perguruan tinggi, misalnya fakultas kedokteran, bervariasi antara Rp150 sampai Rp250juta. Ada apa sebenarnya di dunia pendidikan kita yang cenderung spirit komersialisasinya tinggi sekali,” tanya Anggota Fraksi Partai Golkar di DPR RI, Fayakhun Andriadi, di Jakarta, Rabu (13/7).
Karena itu, ia mengingatkan Pemerintah agar jangan menutup mata dengan berbagai laporan terjadinya pungutan di luar ketentuan dalam proses penerimaan siswa baru (PSB), juga penerimaan mahasiswa di berbagai fakultas di Tanah Air.
“Segera bertindak dan beri sanksi tegas kepada para kepala sekolah atau pimpinan sekolah yang bersangkutan,” tandasnya kepada ANTARA, sebagaimana dipantau IPOSnews.
Anggota DPR RI dari daerah pemilihan (Dapil) DKI Jakarta ini mendesak aparat berkompeten segera turun lapangan untuk mengatasi maraknya.
“Jangan menunggu laporannya, lalu mengatakan, sesuai teori atau aturan, tidak ada, atau pernyataan ‘asbun’ lainnya yang hanya berdasar laporan para birokrat yang terkesan’abs’,” tandasnya.
Ia menyayangkan perilaku para birokrat di lingkup Pendidikan Nasional yang menganggap PSB atau penerimaan mahasiswa baru sebagai lahan mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Kalau sudah begitu, demikian Fayakhun Andriadi, ‘mandatory’ anggaran sebesar 20 persen APBN kepada sektor pendidikan, menjadi tidak jelas.
“Buktinya, biaya PSB tidak ada bedanya ketika kebijakan belum diterapkan. Malah ada kecenderungan terus meningkat. Coba cek langsung keadaannya. Baik sekolah maupun perguruan tinggi sekarang sangat mahal biaya masuknya. Tidak ada yang gratis, seperti didengung-dengungkan,” tandasnya.
Fayakhun Andriadi lalu menyorot kritis tentang tingginya permintaan beberapa fakultas tertentu (utamanya Kedokteran) yang memasang tarif antara Rp150 juta hingga Rp200 juta kepada calon mahasiswa.
“Memangnya ini yang dimaksud dengan pemerataan pendidikan dan keadilan bagi seluruh warga memperoleh pendidikan yang layak? Berarti khan hanya orang tertentu saja yang bisa sekolah di tempat tertentu,” tandasnya.
Elite Tak Tahu
Fayakhun yang sehari-harinya bertugas di Komisi I DPR RI ini menambahkan, dia sendiri memperoleh banyak temuan di seputar Jakarta Selatan mengenai terjadinya pungutan-pungutan liar tersebut.
“Malahan, ada seorang bapak yang sehari-harinya hanya bekerja sebagai tukang bangunan dengan upah harian sampai dibuat putus asa, karena diharuskan menyetor lima hingga tujuh juta baru bisa anaknya diterima di sebuah SMP,” ungkapnya.
Namun di tataran elite, menurut Fayakhun Andriadi, tetap saja temuan-temuan ini dianggap ‘tidak ada’, atau cepat-cepat mengeluarkan pernyataan segera akan ditindak.
“Tetapi, jika sudah ada komplain besar-besaran, seperti kasus kecurangan atau contek massal di beberapa sekolah saat UN dulu, baru bikin pernyataan membela diri dan menyalahkan yang lain,” ujarnya.
Dia memastikan, banyak elite di jajaran Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) tidak tahu tentang permainan di tingkat sekolah hingga pengawas di kecamatan.
“Ada permainan di sana. Banyak yang masih suka ‘ngutip. Dan di tataran elite, tidak tahu atau pura-pura tidak tahu,” ungkapnya lagi.
Karena itu, Fayakhun Andriadi mengusulkan adanya tim independen melakukan investigasi, karena pihak instansi berkompeten sibuk urusan rutin yang lain.

Sumber: iposnews, Wednesday, 13 July 2011 15:53