Untuk melihat realitas politik pendidikan di indonesia, kita bisa mengukurnya dari kebijakan dan praktik pendidikan yang ada.
Pemerintah telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005 – 2009 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan; dan meningkatnya tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik.
Karena itu, kebijakan pendidikan nasional harus mampu menghadirkan pemerataan pendidikan yang bermutu pada setiap sisinya. Dalam konteks outcome, pendidikan nasional harus mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan intelektual dan akhlak mulia secara seimbang.
Pembangunan pendidikan hendaknya dapat membangun manusia Indonesia seutuhnya sebagai subyek yang bermutu. Membangun manusia seutuhnya berarti mengembangkan seluruh potensi manusia melalui keseimbangan olah hati, olah pikir, olah rasa, olah raga, dan olah jiwa yang dilakukan seiring dengan pembangunan peradaban bangsa.
Pemerintah Indonesia memang telah terus-menerus memberikan perhatian yang besar pada pembangunan pendidikan dalam rangka mencapai tujuan negara, yaitu mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang pada akhirnya akan sangat mempengaruhi kesejahteraan umum dan pelaksanaan ketertiban dunia serta berkompetisi dalam percaturan global.
Namun dalam realitasnya, kita menyaksikan ternyata kebijakan dan praktik pendidikan kita masih jauh panggang dari api. Hal ini bisa kita lihat mulai dari kemampuan mengalokasikan anggaran pendidikan, pemerataan akses dan angka partisipasi pendidikan masyarakat, kualifikasi dan mutu profesionalisme serta kesejahteraan guru, dan daya saing lulusan pendidikan di dnia kerja,
Soal anggaran pendidikan, misalnya. Kita semua tentu paham bahwa sampai sekarang ini besarnya anggaran pendidikan di negara kita tidak saja terjelek di Asia Tenggara, di Asia atau di kawasan terbatas lainnya; namun anggaran pendidikan kita ternyata termasuk terjelek di dunia.
Kalau kita mengacu publikasi badan dunia UNDP, misalnya; anggaran pendidikan kita lebih jelek tidak saja dari negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, nggris, Jerman dan Jepang; tetapi juga dari negara berkembang lainnya, seperti Malaysia, Thailand, Brasilia, Meksiko, dan Nigeria; bahkan ternyata juga lebih jelek dari negara-negara terbelakang seperti Bangladesh, Burundi, Ethiopia, Nepal, Congo, dan sebagainya.
Angka rata-rata anggaran pendidikan di negara maju mencapai 5,1 persen terhadap GNP, di negara berkembang 3,8 persen dan negara terbelakang 3,5 persen. Sementara itu, negara kita hanya mengalokasi dana kurang dua persen terhadap GNP.
Kita semua menyadari, bahwa untuk memajukan dunia pendidikan nasional dan meningkatkan kualitas SDM bangsa sesuai dengan yang dicita-citakan, maka pemenuhan alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD adalah menjadi keniscayaan. Komitmen serius untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan adalah persoalan mendesak, jika kita betul-betul serius ingin mencerdaskan kehidupan bangsa ini melalui pendidikan yang bermutu. Karena, UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) telah mengamanahkan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Bahkan, UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 49 ayat (1) menegaskan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Selama ini Pemerintah bersama-sama dengan DPR-RI telah sepakat untuk menempatkan alokasi anggaran pendidikan menjadi prioritas tertinggi dalam penetapan APBN setiap tahun. Hal ini dapat dilihat pada kenaikan anggaran di Departemen Pendidikan dan Agama yang melonjak sangat tinggi pada tiga tahun terakhir. Upaya untuk memenuhi anggaran pendidikan hingga mencapai 20 persen dari dana APBN, diluar gaji dan pendidikan kedinasan, telah diupayakan untuk direalisasikan secara bertahap sampai tahun 2009. Rentang kenaikannya adalah dari yang semula hanya 6,6 % pada tahun 2004, menjadi 9,3 % untuk tahun 2005, kemudian menjadi 12 % untuk tahun 2006, lalu menjadi 14,7 % untuk tahun 2007, selanjutnya menjadi 17,4 % untuk tahun 2008, dan pada tahun 2009 menjadi 21,1 %. Anggaran fungsi pendidikan pada tahun 2006 memang telah mencapai Rp45,3 triliun, meningkat menjadi Rp52,4 triliun pada tahun 2007, dan direncanakan meningkat menjadi Rp61,4 triliun pada tahun 2008.
Anggaran pendidikan di APBN sebenarnya terus naik cukup signifikan sejak 2003. Fenomena penurunan persentase anggaran hanya sempat terjadi pada 2002. Ketika itu, anggaran pendidikan hanya mendapatkan porsi 3,76 persen. Padahal, pada 2001 sudah mencapai 4,55 persen.
Setelah itu, anggaran pendidikan terus bertambah menjadi 4,15 persen pada 2003; 6,6 persen (2004); 7 persen (2005); 9,1 persen (2006); dan 11,8 persen (2007). Dalam APBN 2007, pendidikan telah berhasil mendapatkan porsi terbesar. Begitu juga dalam RAPBN 2008.
Dalam masalah partisipasi pendidikan juga begitu halnya. Anak usia SD, SMP, SMA dan SMK di Jepang, Republik Korea, Taiwan, Singapura, hampir seluruhnya sudah masuk sekolah. Mereka tidak saja sekadar disuruh bersekolah tetapi juga diberi kesempatan dan fasilitas belajar secara memadai.
Bagaimana di Indonesia? Sampai saat ini masih banyak anak usia SD, SMP, SMA dan SMK yang tidak bersekolah. Secara definitif angkanya sangat tinggi, mencapai jutaan anak. Angka partisipasi pendidikan untuk tingkat SD, SMP, SMA dan SMK ternyata masih rendah. Ditambah lagi dengan tingginya angka putus sekolah dan buta aksara.
Terkait dengan rendahnya partisipasi pendidikan, data Depdiknas 2006 menunjukan bahwa Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI/SDLB/Paket A baru mencapai 94,73%, Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs/SMPLB/Paket B sebesar 88, 68%, Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA/MA/SMK/SMALB/ Paket C sebesar 55, 22%, dan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi baru mencapai 16,70%.
Adapun mengenai tingginya angka putus sekolah, tercatat bahwa angka putus sekolah tingkat SD sebanyak 2,97%, SMP 2,42%, SMA 3,06%, dan PT 5,9%. Sementara, tingginya jumlah warga negara yang masih buta huruf, tercatat bahwa dari total penduduk sebanyak 211.063.000, yang masih buta huruf pada usia 15 tahun ke atas, berjumlah 15.4 juta, dengan perbandingan laki-laki sebesar 5,8% dan perempuan sebesar 12,3%, dengan penyebaran di perkotaan sebesar 4,9% dan dipedesaan 12,2%.
Bahkan, berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional, hingga akhir tahun 2006, masih 12,88 juta penduduk Indonesia, tersebar di pedesaan dan perkotaan, yang buta aksara. Kondisi ini memang sedikit lebih baik dibandingkan kondisi di tahun 2005 yang sebanyak 14.595.088 orang. Walaupun demikian, masih belum mampu mengeluarkan Indonesia dari kelompok negara-negara (ada 34 negara) di dunia yang jumlah penduduk buta aksaranya di atas 10 juta orang.
Tingginya angka buta aksara inilah yang memberi andil menempatkan peringkat IPM Indonesia di posisi bawah. Dua per tiga dari total penilaian atas kriteria pendidikan didasarkan pada jumlah penduduk di atas 15 tahun yang buta aksara. Artinya, jika angka buta aksaranya masih tinggi maka nilai atas pendidikan jadi rendah.
Kesulitan dalam upaya pemberantasan buta aksara di Indonesia disebabkan oleh kenyataan bila masih sangat banyak anak yang putus sekolah bahkan tidak sekolah. Disamping itu, minimnya anggaran juga disinyalir menjadi penyebab terhambatnya memberantas buta aksara. Pada tahun 2006 lalu pemerintah hanya menanggarkan dana Rp. 175 miliar, padahal dibutuhkan sedikitnya Rp. 450 miliar untuk menekan angka buta aksara. Kondisi ini menunjukkan komitmen pemerintah pusat terhadap pendidikan yang masih sangat rendah seiring dengan kecilnya alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2007, yakni hanya 11,8 persen.
Memang pemerintah kita selalu menganjurkan agar mereka mau masuk sekolah. Sayangnya, anjuran itu kurang disertai dengan penyediaan fasilitas yang memadai, baik dari sisi jumlah maupun mutu.
Soal peran dan posisi guru juga demikian halnya. Pemerintah di negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Brunei, Taiwan, Jepang, Vietnam, Singapura, dan sebagainya, sangat menghargai peran guru dan memposisikannya sebagai pribadi yang sangat dihormati dan disegani. Sebab, mereka tidak segan-segan menggaji guru dengan nilai yang tinggi.
Guru di Vietnam digaji 600.000 dhong (Dolar Vietnam) pada setiap bulannya, sementara kebutuhan hidup setiap bulan untuk keluarga kecil hanya sekitar 200.000 dhong.
Guru di Jepang digaji sekitar 200.000 yen setiap bulannya, sementara kebutuhan hidup di setiap bulannya rata-rata hanya sekitar 100.000 s/d 150.000 yen untuk keluarga kecil. Pendeknya, dengan mengandalkan gajinya saja para guru di negara-negara tersebut bisa hidup layak dan menabung.
Bagaimana dengan guru di Indonesia? Apakah para guru kita dapat hidup dengan layak dan menabung dengan mengandalkan gajinya? Apakah peran dan posisi para guru terandalkan di masyarakat luas? Tentunya kita semua sangat paham dengan kondisi yang senyatanya.
Ironisnya, Indonesia termasuk salah satu negara yang jumlah guru berpendidikan primer setara S1 yang kurang dari 50 persen. Ini berarti dari jumlah 2,7 juta guru, sebanyak 1,35 juta orang guru belum mencapai kualifikasi S1. Laporan Diknas tahun 2006 menjelaskan bahwa guru yang memenuhi kualifikasi S1/D-IV, baru mencapai target 35,6% saja. Jadi, sebanyak 64,4% guru belum memenuhi kualifikasi S1/D-IV. Sedangkan, dosen yang memenuhi kualifikasi S2/S3 baru mencapai 54,02%. Jadi, masih ada sebanyak 45,08 % dosen yang belum memenuhi kualifikasi S2/S3. Pada tahun 2007, depdiknas baru berhasil meningkatkan kualifikasi guru hingga S1/D4 sebanyak 81.800 guru dan melakukan sertifikasi guru sebanyak 147.217 orang.
Padahal, dalam konteks pembangunan sektor pendidikan, guru merupakan pemegang peran yang amat sentral. Guru adalah jantungnya pendidikan. Tanpa denyut dan peran aktif guru, kebijakan pembaruan pendidikan secanggih apa pun tetap akan sia-sia. Sebagus apa pun dan semodern apa pun sebuah kurikulum dan perencanaan strategis pendidikan dirancang, jika tanpa guru yang berkualitas, maka tidak ada gunanya. Artinya, pendidikan yang baik dan unggul tetap akan tergantung pada kondisi mutu guru.
Hal ini ditegaskan UNESCO dalam laporan The International Commission on Education for Twenty-first Century, yakni "memperbaiki mutu pendidikan pertama-tama tergantung perbaikan perekrutan, pelatihan, status sosial, dan kondisi kerja para guru; mereka membutuhkan pengetahuan dan keterampilan, karakter personal, prospek profesional, dan motivasi yang tepat jika ingin memenuhi ekspektasi stakeholder pendidikan" (Jacques Delors 1996). Karena itu, upaya meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan para guru adalah suatu keniscayaan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 24/PUU-V/2007 yang memutuskan bahwa gaji guru masuk dalam anggaran pendidikan 20 persen, tidak boleh menjadi hambatan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah seberapa serius pemerintah menghormati dan menjunjung tinggi profesi guru yang telah banyak berperan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta mencerdaskan kehidupan bangsa? Apa yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kinerja dan mutu profesi guru sebagai pendidik? Lalu bagaimana dengan kesejahteraan dan nasib masa depan guru ditengah tuntutan dan himpitan ekonomi saat ini?
Terlepas dari masih banyaknya persoalan kebangsaan yang menjerat kita, dalam konteks pembangunan sektor pendidikan, komitmen serius untuk terus meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru merupakan suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, jika kita mau betul-betul serius ingin membangun bangsa ini menjadi lebih beradab. Sebab, guru yang bermutu dan sejahtera memegang peran amat sentral dalam proses pendidikan.
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran pada program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan tahun 2008 untuk kegiatan sertifikasi pendidik bagi sekitar 200.000 orang guru, peningkatan kualifikasi akadeik guru ke S1/D4 sebanyak 270.000 guru, peningkatan kompetensi guru Dikdas sebanyak 3.049 guru, dan peningkatan kompetensi guru Dikmen sebanyak 12.828 guru.
Adanya komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan guru bisa dijadikan sebagai momentum pembangkit kembali idealisme guru dalam membangun peradaban bangsa Indonesia. Sehingga, masa depan Indonesia bisa lebih maju, berkualitas, berbudaya, cerdas, dan dapat bersaing dalam percaturan dunia. Namun, persoalannya adalah bagaimana agenda tersebut dapat diimplementasikan dan diwujudkan secara nyata, konkret, dan didasarkan atas kemauan politik dan keseriusan tekad pemerintah.
Kita masih tetap mengharapkan peran strategis pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan, harkat, martabat, dan wibawa guru. Pemerintah harus komitmen dalam melaksanakan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sehingga pembangunan peradaban bangsa melalui sektor pendidikan dapat berjalan sesuai dengan harapan dan cita-cita kemerdekaan bangsa ini. Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang mau memuliakan dan mensejahterakan guru.
Keadaan tersebut memberi gambaran mengenai politik pendidikan di Indonesia yang masih jauh dari kata-kata surga dan menjanjikan. Politik pendidikan kita belum mampu memberikan harapan konkret atas kemajuan bangsa ini di masa depan.
Pendidikan di negara kita masih berada (diletakkan) di ring marginal sehingga politik pendidikan kita sangat rentan terhadap ekspansi gemerlapnya politik lain yang lebih dominan; katakanlah dengan politik ekonomi, politik kebudayaan, politik keamanan, dan yang lebih khusus politik kekuasaan.