”Bu anaknya mau pinter nggak, mau pinter lebih pinter dari ibunya nggak, mau lebih pinter dari bapaknya nggak, sekolahkan anaknya, sekolahkan anaknya”, kata Menteri Agama Suryadharma Ali. Photo by KNC doc.
Jakarta, 3/8/2011 (Kominfonewscenter) – Menteri Agama Suryadharma Ali menyerahkan secara simbolis beasiswa bagi siswa tak mampu di SDN Cadas Ngampar, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon, Rabu (3/8).
”Saya ingin lebih dahulu menceritakan mengapa saya datang kemari”, kata Menteri Suryadharma.
Ia datang ke Argasunya karena tgl.25 Juli 2011 mendengar berita dan melihat langsung Metro TV, saat itu ia berada di Aceh dan sewaktu subuh melihat siaran Metro yang menyebutkan seorang gadis kecil bernama Fatimah Azahra berhenti sekolah pada kelas V karena orang tuanya tak mampu menyekolahkan Fatimah, dan akhirnya Fatimah menjadi pemecah batu dengan upah Rp6000 per hari.
Kemudian Metro TV mengatakan anggaran pendidikan naik terus tetapi masih ada warganegara yang tidak mampu menyekolahkan anaknya
”Terus terang ini menggerus hati saya, selaku Menteri Agama yang memiliki kewajiban mengelola pendidikan terbesar kedua setelah Kemendiknas”, kata Menteri Suryadharma Ali.
Menurut Suryadharma, apa yang diberitakan Metro TV merupakan sosok ketidakberdayaan masyarakat dalam menyekolahkan anaknya.
”Ironis sangat ironis dan memang betul anggaran pendidikan meningkat tajam, saya juga heran kalo masih ada warganegara yang tidak bisa sekolah”, katanya.
”Saya betul-betul heran apakah ini betul-betul kemiskinan atau memang budaya, saya pernah menemukan beberapa tahun yang lalu ketika tersiar adanya masyarakat yang kekurangan gizi”, tambah Menteri.
Menteri Suryadharma mengatakan kekurangan gizi itu sebagai kata lain dari kelaparan, jadi ada masyarakat Indonesia yang masih kelaparan di beberapa tempat.
”Saya lihat ternyata kelaparan itu bukan disebabkan karena kemiskinan tapi kelaparan itu disebabkan oleh budaya”, kata Menag.
Kebiasaan orang tua, terutama ibu yang demikian cintanya dengan sang suami, makanan diutamakan bagi suaminya.
Bila si ibu membeli ikan misalnya, maka ikan itu diprioritaskan untuk sang ayah sementara si anak hanya makan tahu tempe dengan sambel kira-kira seperti itu.
”Ini budaya, barangkali masih ada ibu-ibu sekarang yang seperti itu, anak dilarang makan telor, karena kalo makan telor nanti bisulan, ditakut-takutinnya begitu, dilarang makan ikan kalo makan ikan nanti cacingan”, kata Menag.
Menteri mengemukakan hal itu merupakan budaya, sehingga anak-anak mendapatkan makanan yang gizinya rendah, proteinnya rendah, karenanya kemudian anak-anak menjadi kurus-kurus seperti kurang gizi, padahal bapaknya gemuk ibunya gemuk, kerbonya ada empat itu juga kelihatan gemuk, semua kerbonya gemuk sapinya gemuk tapi anaknya kurus.
Menteri juga mengemukakan adanya budaya dimana petani yang memiliki sapi banyak, dipotong atau dijual bila ada slametan.
”Ada sunatan sapi dipotong, ada kawinan sapi dipotong, tapi ketika anak mau atau butuh uang untuk sekolah sapi tidak dijual atau ketika anak perlu uang untuk berobat dengan penyakit yang serius, sapi tidak dijual, ini budaya kita ini kebiasaan kita yang harus kita rubah”, kata Menteri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar